Lanjutan Kode Etik



BAB VIII
PENDIDIKAN dan/atau PELATIHAN

Pasal 37
Pedoman Umum
(1) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku individu/kelompok/komunitas yang bertujuan membawa kearah yang lebih baik melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
(2) Pendidikan dalam pengertian ini termasuk pendidikan bergelar atau non gelar.
• Pendidikan bergelar yaitu program pendidikan yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi.
• Pendidikan non gelar adalah kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan Minat dan/ atau Praktik Spesialisasi Psikologi atau lembaga lain yang kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi
(3) Pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan membawa kearah yang lebih baik yang dapat dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan Minat dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi atau lembaga lain yang kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi

Pasal 38
Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan/atau Pelatihan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bertanggung jawab atas program pendidikan dan/atau pelatihan mengadakan langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa program yang dirancang memberikan pengetahuan yang tepat dan pengalaman yang layak untuk memenuhi kebutuhan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang memadai guna memastikan penjabaran rencana pendidikan dan/atau pelatihan secara tepat dengan materi yang akan dibahas, dasar-dasar untuk evaluasi kemajuan dan sifat dari pengalaman pendidikan. Standar ini tidak membatasi pendidik, pelatih atau supervisor untuk memodifikasi isi program pendidikan dan/ atau pelatihan atau persyaratan jika dipandang penting atau dibutuhkan, selama peserta pendidikan dan/atau pelatihan diberitahukan akan adanya perubahan dalam rangka memungkinkan mereka untuk memenuhi persyaratan pendidikan dan/atau pelatihan.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyusun program pendidikan dan/atau pelatihan berdasarkan teori dan bukti-bukti ilmiah dan berorientasi pada kesejahteraan peserta pendidikan dan/atau pelatihan Jika psikolog atau ilmuwan Psikologi menggunakan program yang telah disusun oleh pihak lain, maka ia seyogyanya mendapatkan ijin penggunaan program tersebut atau setidak-tidaknya mencantumkan nama penyusun program.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan diawali dengan menyusun rencana berdasarkan teori yang relevan sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain pendidikan dan/atau pelatihan, melaksanakan dan melaporkan hasil yang disusun sesuai dengan stándar atau kompetensi ilmiah dan etik.

Pasal 39
Keakuratan dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi mengambil langkah yang tepat guna memastikan rencana pendidikan dan/atau pelatihan berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan terkini dan sesuai dengan materi yang akan dibahas serta berdasarkan kajian teoritik maupun bukti-bukti empiris yang ada.


Pasal 40
Informed Consent dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melaksanakan
pelatihan sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika
a) Pelaksanaan pelatihan diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;
b) Pelaksanaan dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal: syarat untuk kenaikan jabatan. 

Pasal 41
Pengungkapan Informasi Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi peserta pendidikan dan/atau pelatihan dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak meminta peserta pendidikan dan/atau pelatihan untuk mengungkapkan informasi pribadi mereka dalam kegiatan yang berhubungan dengan program yang dilakukan, baik secara lisan atau tertulis, yang berkaitan dengan sejarah kehidupan seksual, riwayat penyiksaan, perlakuan psikologis dari hubungan dengan orangtua, teman sebaya, serta pasangan atau pun orang-orang yang signifikan lainnya. Hal tersebut tidak diberlakukan, kecuali jika program ini menjadi satu cara atau pendekatan yang dianggap penting dan tepat untuk dapat memahami, berempati, memfasilitasi pemulihan dan/atau memampukan peserta untuk menemukan pendekatan penanganan yang tepat bagi isu atau kasus khusus tersebut.
(3) Bila pengungkapan informasi pribadi yang peka harus dilakukan, hal tersebut harus dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang terlatih untuk memastikan kebermanfaatan maksimal, mencegah dampak negatif dari hal tersebut, serta untuk tetap memastikan tidak diungkapkannya informasi pribadi tersebut dalam konteks lain di luar kegiatan ini oleh semua pihak yang terlibat.


Pasal 42
Kewajiban Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan untuk Mengikuti Program Pendidikan yang disyaratkan Bila suatu pendidikan dan/atau pelatihan atau suatu kegiatan merupakan persyaratan dalam suatu program pendidikan dan/atau pelatihan, maka penyelenggara harus bertanggung jawab bahwa program tersebut tersedia. Pendidikan dan/ atau pelatihan yang disyaratkan tersebut diberikan oleh ahli dalam bidangnya yang dapat tidak berhubungan dengan program pendidikan dan/ atau pelatihan tersebut.



Pasal 43
Penilaian Kinerja Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang yang Disupervisi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam bidang pendidikan, pelatihan, pengawasan atau supervisi, menetapkan proses yang spesifik dan berjadwal untuk memberikan umpan balik kepada peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang disupervisi. Informasi mengenai proses tersebut diberikan pada awal pengawasan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengevaluasi kinerja peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang disupervisi berdasarkan persyaratan program yang relevan dan telah ditetapkan sebelumnya. 


Pasal 44
Keakraban Seksual dengan Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang yang diSupervisi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat dalam keakraban seksual dengan peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang sedang disupervisi, orang yang berada di agensi atau biro konsultasi psikologi, pusat pelatihan atau tempat kerja dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut mempunyai wewenang akan menilai atau mengevaluasi mereka.
(2) Bila hal di atas tidak terhindari karena berbagai alasan misalnya karena adanya hubungan khusus yang telah terbawa sebelumnya, tanggungjawab tersebut harus dialihkan pada Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki hubungan netral dengan peserta untuk memastikan obyektivitas dan meminimalkan kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak yang terlibat.


BAB IX
PENELITIAN dan PUBLIKASI

Pasal 45
Pedoman Umum
(1) Penelitian adalah suatu rangkaian proses secara sistematis berdasar pengetahuan yang bertujuan memperoleh fakta dan/atau menguji teori dan/atau menguji intervensi yang menggunakan metode ilmiah dengan cara mengumpulkan, mencatat dan menganalisis data.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan penelitian diawali dengan menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa dalam proposal dan protokol penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etika penelitian.


Pasal 46
Batasan Kewenangan dan Tanggung Jawab
(1) Batasan kewenangan
(a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami batasan kemampuan dan kewenangan masing-masing anggota Tim yang terlibat dalam penelitian tersebut. b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak yang lebih ahli di bidang penelitian yang sedang dilakukan sebagai bagian dari proses implementasi penelitian. Konsultasi yang dimaksud dapat meliputi yang berkaitan dengan kompetensi dan kewenangan misalnya badan-badan resmi pemerintah dan swasta, organisasi profesi lain, komite khusus, kelompok sejawat, kelompok seminat, atau melalui mekanisme lain.
(2) Tanggung jawab
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bertanggungjawab atas pelaksanaan dan hasil penelitian yang dilakukan.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan partisipan penelitian atau pihak-pihak lain terkait, termasuk kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian.


Pasal 47
Aturan dan Izin Penelitian
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memenuhi aturan profesional dan ketentuan yang berlaku, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penulisan publikasi penelitian. Dalam hal ini termasuk izin penelitian dari instansi terkait dan dari pemangku wewenang dari wilayah dan badan setempat yang menjadi lokasi.
(2) Jika persetujuan lembaga, komite riset atau instansi lain terkait dibutuhkan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memberikan informasi akurat mengenai rancangan penelitian sesuai dengan protokol penelitian dan memulai penelitian setelah memperoleh persetujuan.


Pasal 48
Partisipan Penelitian
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berinteraksi dengan partisipan penelitian hanya di lokasi dan dalam hal-hal yang sesuai dengan rancangan penelitian, yang konsisten dengan perannya sebagai peneliti ilmiah. Pelanggaran terhadap hal ini dan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai butir pelanggaran seperti tercantum dalam pasal dan bagian-bagian lain dari Kode Etik ini (misalnya pelecehan seksual dan bentuk pelecehan lain).
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memberi kesempatan adanya pilihan kegiatan lain kepada partisipan mahasiswa, peserta pendidikan, anak buah/bawahan, orang yang sedang menjalani pemeriksaan psikologi bila ingin tidak terlibat/mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam penelitian yang menjadi bagian dari suatu proses yang diwajibkan dan dapat dipergunakan untuk memperoleh kredit tambahan.


Pasal 49
Informed Consent dalam Penelitian
Sebelum pengambilan data penelitian Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan pada calon partisipan penelitian dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat umum tentang penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan penelitian yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Partisipan harus menyatakan kesediaannya seperti yang dijelaskan pada pasal yang mengatur tentang itu.

(1) Informed consent Penelitian
Dalam rangka mendapat persetujuan dari calon partisipan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan proses penelitian. Secara lebih terinci informasi yang penting untuk disampaikan adalah:
a) Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari keikutsertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
b) Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mengadakan penelitian intervensi dan/atau eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada partisipan tentang perlakuan yang akan dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi partisipan; alternatif penanganan yang tersedia apabila individu menarik diri selama proses penelitian; dan kompensasi atau biaya keuangan untuk berpartisipasi; termasuk pengembalian uang dan halhal lain terkait bila memang ada ketika menawarkan kesediaan partisipan dalam penelitian.
d) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha menghindari penggunaan segala bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang berlebihan agar partisipan ikut serta dalam penelitian. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari penelitian tersebut, berikut risiko, kewajiban dan keterbatasannya.
(2) Informed Consent Perekaman Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sebelum merekam suara atau gambar untuk pengumpulan data harus memperoleh izin tertulis dari partisipan penelitian. Persetujuan tidak diperlukan bila perekaman murni untuk kepentingan
observasi alamiah di tempat umum dan diantisipasi tidak akan berimplikasi teridentifikasi atau terancamnya kesejahteraan atau keselamatan partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Bila pada suatu penelitian dibutuhkan perekaman tersembunyi, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan perekaman dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat terjadi pada partisipan, dan penjelasan mengenai kepentingan perekaman disampaikan dalam debriefing.
(3) Pengabaian informed consent Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak harus meminta persetujuan partisipan penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu secara anonim atau dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi dan diasumsikan tidak ada risiko gangguan pada kesejahteraan atau keselamatan, serta bahaya-bahaya lain yang mungkin timbul pada partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Penelitian yang tidak harus memerlukan persetujuan partisipan antara lain adalah:
a) penyebaran kuesioner anonim;
b) observasi alamiah;
c) penelitian arsip; yang ke semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pemberian tanggung jawab hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko keuangan, kepegawaian atau reputasi nama baik dan kerahasiaan.


Pasal 50
Pengelabuan/Manipulasi dalam Penelitian
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan menipu atau menutupi informasi, yang mungkin dapat mempengaruhi calon niat partisipan untuk ikut serta, seperti kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang negatif. Penjelasan harus diberikan sedini mungkin agar calon partisipan dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk terlibat atau tidak dalam penelitian.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi boleh melakukan penelitian dengan pengelabuan, teknik pengelabuan hanya dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk tujuan pendidikan atau bila topik sangat penting untuk diteliti demi pengembangan ilmu, sementara cara lain yang efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa dilakukan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan bentuk-bentuk pengelabuan yang merupakan bagian dari keseluruhan rancangan penelitian pada partisipan sesegera mungkin; sehingga memungkinkan partisipan menarik data mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih jauh.


Pasal 51
Penjelasan Singkat/Debriefing
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memberikan penjelasan singkat segera setelah selesai pengambilan data penelitian, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat pada umumnya, agar partisipan memperoleh informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin dimiliki partisipan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi resiko atau bahaya jika nilai-nilai ilmiah dan kemanusiaan menuntut penundaan atau penahanan informasi tersebut.
(3) Debriefing dalam penelitian dapat ditiadakan jika pada saat awal penelitian telah dilakukan penjelasan tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin dimiliki partisipan.
(4) Jika Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan bahwa prosedur penelitian telah mencelakai partisipan; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah tepat untuk meminimalkan bahaya. 


Pasal 52
Penggunaan Hewan untuk Penelitian Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memperhatikan peraturan Negara dan standar profesional apabila menggunakan hewan sebagai objek penelitian. Standar profesional yang dimaksud diantaranya bekerjasama atau berkonsultasi dengan ahli yang kompeten. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan penelitian dengan hewan harus terlatih dan dapat memperlakukan hewan tersebut dengan baik, mengikuti prosedur yang berlaku, bertanggung jawab untuk memastikan kenyamanan, kesehatan dan perlakuan yang berperikemanusiaan terhadap hewan tersebut. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang sedang melakukan penelitian dengan hewan perlu memastikan bahwa semua orang yang terlibat dalam penelitiannya telah menerima petunjuk mengenai metode penelitian, perawatan dan penanganan hewan yang digunakan, sebatas keperluan penelitian, dan sesuai perannya. Prosedur yang jelas diperlukan sebagai panduan untuk menangani seberapa jauh hewan ‘boleh’ disakiti dan terhindar dari perlakuan semena-mena.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan prosedur yang menyebabkan rasa sakit, stres dan penderitaan pada hewan, hanya jika prosedur alternatif tidak memungkinkan dan tujuannya dibenarkan secara ilmiah atau oleh nilai-nilai pendidikan dan terapan.
(3) Apabila dalam penelitian diperlukan pembedahan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjalankan prosedur bedah dengan pembiusan yang memadai dan mengikuti teknik-teknik untuk mencegah infeksi dan meminimalkan rasa sakit selama, dan setelah pembedahan.
(4) Apabila nyawa hewan perlu diakhiri, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melaksanakannya dengan segera, dengan usaha untuk meminimalkan rasa sakit dan sesuai dengan prosedur yang dapat diterima.


Pasal 53
Pelaporan dan Publikasi Hasil Penelitian
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bersikap profesional, bijaksana, jujur dengan memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku dalam melakuan pelaporan/pubikasi hasil penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa layanan psikologi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak merekayasa data atau melakukan langkahlangkah lain yang tidak bertanggungjawab (misal : terkait pengelabuan, plagiarisme dll).
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi jika menemukan kesalahan yang signifikan pada data yang dipublikasikan, mereka mengambil langkah untuk mengoreksi kesalahan tersebut dalam sebuah pembetulan (correction), penarikan kembali (retraction), catatan kesalahan tulis atau cetak (erratum) atau alat publikasi lain yang tepat.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak menerbitkan atau mempublikasikan dalam bentuk original dari data yang pernah dipublikasikan sebelumnya. Ketentuan ini tidak termasuk data yang dipublikasi ulang jika disertai dengan penjelasan yang memadai. 


Pasal 54
Berbagi Data untuk Kepentingan Profesional
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak menyembunyikan data yang mendasari kesimpulannya setelah hasil penelitian diterbitkan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat memberikan data dari hasil penelitian yang telah dipublikasikan bila ada sejawat atau profesional lain yang memiliki kompetensi sama, dan memerlukannya sebagai data tambahan untuk menguatkan pembuktiannya melalui analisis ulang, atau memakai data tersebut sebagai landasan pekerjaannya.
(3) Ketentuan pada ayat (2) tersebut tidak berlaku jika hak hukum individu yang menyangkut kepemilikan data melarang penyebarluasannya. Untuk kepentingan ini, sejawat atau profesional lain yang memerlukan data tersebut wajib mengajukan persetujuan tertulis sebelumnya.
(4) Profesional/sejawat lain yang memerlukan data penelitian tersebut wajib melindungi kerahasiaan partisipan penelitian, dan memperhatikan hak legal pemilik data.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat meminta sejawat atau profesional lain yang memerlukan data tersebut untuk ikut bertanggung jawab atas biaya terkait dengan penyediaan informasi.


Pasal 55
Penghargaan dan Pemanfaatan Karya Cipta Pihak Lain
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Karya cipta yang dimaksud dapat berbentuk penelitian, buku teks, alat tes atau bentuk lainnya harus dihargai dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta atau hak intelektual yang berlaku.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.
(4) Kredit publikasi yang diperoleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus dapat dipertanggungjawabkan, dan benar-benar mencerminkan kontribusi ilmiah atau profesional yang telah  dilakukan atau di mana mereka ikut berpartisipasi. Kepemilikan atas posisi struktural institusional, misalnya kepala bagian atau pemimpin lembaga, tidak membenarkan pencantuman nama yang bersangkutan bila ia memang tidak berkontribusi nyata dalam penelitian atau penulisan.
(5) Kontribusi minor dalam penelitian dan penulisan yang dipublikasikan harus diakui dengan benar, hingga pada catatan kaki dan kata pengantar. Mahasiswa atau orang yang dibimbing tetap harus didaftar sebagai penulis atau anggota tim penulis bila publikasi tersebut merupakan karyanya. Artikel yang secara substansial disusun berdasarkan skripsi, tesis dan/atau disertasi mahasiswa tetap harus mencantumkan nama mahasiswa tersebut.


BAB X
PSIKOLOGI FORENSIK

Pasal 56
Hukum dan Komitmen terhadap Kode Etik
1. Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana.
2. Ilmuwan psikologi forensik melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya peradilan pidana. Psikolog forensik adalah psikolog yang tugasnya memberikan bantuan profesional psikologi berkaitan dengan permasalahan hukum, khususnya peradilan pidana.
3. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi forensik wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab yang dijalaninya, memahami hukum di Indonesia dan implikasinya terhadap peran tanggung jawab, wewenang dan hak mereka.
4. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari adanya kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat, dengan keharusan mengikuti hukum yang ditetapkan sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog dan/atau ilmuwan Psikologi berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang dapat diterima.


Pasal 57
Kompetensi
(1) Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensik terutama yang membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis seseorang yang terlibat kasus peradilan pidana, yang bertujuan membantu proses peradilan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan praktik psikologi forensik harus memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi forensik, memahami sistem hukum di Indonesia dan mendasarkan pekerjaannya pada kode etik psikologi.
(2) Praktik Psikologi forensik yang meliputi pelaksanaan asesmen, evaluasi psikologis, penegakan diagnosa, konsultasi dan terapi psikologi serta intervensi psikologi dalam kaitannya dengan proses hukum (misalnya evaluasi psikologis bagi pelaku atau korban kriminal, sebagai saksi ahli, evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak, program asesmen, konsultasi dan terapi di lembaga pemasyarakatan) hanya dapat dilakukan oleh psikolog. Dalam menjalankan tanggung jawabnya psikolog harus mendasarkan pada standar pemeriksaan psikologi yang baku sesuai kode etik psikologi yang terkait dengan asesmen, dan intervensi.
(3) Ilmuwan psikologi forensik dalam melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan aspek aspek psikologis manusia dalam proses hukum wajib memiliki pemahaman terkait dengan sistem hukum di Indonesia dan bekerja berdasarkan kode etik psikologi terutama yang terkait dengan penelitian. 


Pasal 58
Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak
(1) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang melakukan praktik psikologi forensik sesuai dengan kompetensinya memiliki tanggung jawab membantu proses peradilan pidana, dalam kasus yang ditanganinya sehingga tercapainya penegakan kebenaran dan keadilan.
Dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan maka psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik melakukan pekerjaannya dengan berdasarkan azas profesionalitas serta memperhatikan kode etik psikologi.

(2) Psikolog forensik memiliki wewenang memberikan laporan tertulis atau lisan mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter psikologi seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi bersangkutan sesuai standar prosedur pemeriksaan psikologi, untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.

(3) Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi forensik yang dalam menjalankan pekerjaan di bidang psikologi sudah menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan standar, maka memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari Himpsi jika ia mendapatkan masalah terkait dengan hukum. 


Pasal 59
Pernyataan Sebagai Saksi atau Saksi Ahli
(1) Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli harus bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam menyusun hasil penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan dari karakter psikologi seseorang berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.

(2) Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di pengadilan, psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang bisa diterima.

(3) Bila kemungkinan ada lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog, maka psikolog tersebut harus memegang teguh prinsip hubungan profesional sesuai dengan pasal 19 buku kode etik ini.

(4) Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku saksi atau saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.

(5) Bila terdapat lebih dari satu saksi atau saksi ahli psikolog di pengadilan dan bila kemungkinan terjadi konflik antar psikolog dalam suatu proses peradilan yang ditanganinya, maka psikolog dapat meminta Himpsi untuk membantu penyelesaian masalah dengan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan standar pemeriksaan psikologi dan kaidah ilmiah psikologi.

(6) Bila terdapat lebih dari Satu saksi atau saksi ahli yang berasal dari psikolog dan ahli profesi lain dan bila kemungkinan terjadi konflik antara psikolog dengan profesi lain tersebut maka psikolog dapat meminta Himpsi menyelesaikan masalahnya dengan mendiskusikannya dengan organisasi profesi dimana profesi lain tersebut bernaung.


Pasal 60
Peran Majemuk dan Profesional Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghindari untuk menjalankan peran majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing peran harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas profesionalitas, obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus diperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan:
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar untuk melakukan peran majemuk dalam hal forensik, apalagi yang dapat menimbulkan konflik. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan, misalnya sebagai konsultan atau ahli serta menjadi saksi di pengadilan, kejelasan masingmasing peran harus ditegaskan sejak awal bagi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, serta pihak-pihak terkait, untuk mempertahankan profesionalitas dan objektivitas, serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman pihakpihak lain sehubungan dengan peran majemuknya.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional sebelumnya dengan orang yang menjalani pemeriksaan tidak terhalangi untuk memberi kesaksian, atau menyampaikan pendapatnya selaku saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan oleh aturan hukum yang berlaku. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.
(3) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami dan menjalankan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan penerapannya. Kurang dipahaminya kode etik tidak dapat menjadi alasan untuk mempertahankan diri ketika melakukan kesalahan ataupelanggaran.
 

Pasal 61
Pernyataan Melalui Media Terkait dengan Psikologi Forensik Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang melakukan layanan psikologi dapat memberikan pernyataan pada publik melalui media dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) Hanya psikolog yang melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus hukum yang ditanganinya yang dapat memberikan pernyataan di media tentang kasus tesebut.
b) Psikolog dapat membuat pernyataan di media tentang suatu gejala yang terjadi di masyarakat. Jika ia tidak melakukan pemeriksaan psikologis maka hal ini harus dinyatakan pada media dan pernyataan yang disampaikan bersifat umum dan didasarkan pada kaidah prinsip psikologi sesuai dengan teori dan/atau aliran yang diikuti. Pernyataan di media harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat, hak subjek yang diperiksa (seperti azas praduga tak bersalah pada pemeriksaan psikologis pelaku, atau hak untuk tidak
dipublikasikan), dan telah mempertimbangkan batasan kerahasiaan sesuai dengan pasal 24 buku Kode Etik ini.


BAB XI
ASESMEN

Pasal 62
Dasar Asesmen Psikolog sesuai dengan Asesmen Psikologi adalah prosedur evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis. Termasuk didalam asesmen psikologi adalah prosedur observasi, wawancara, pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan penilaian dan/atau pemeriksaan psikologi.
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan observasi, wawancara, penggunaan alat instrumen tes sesuai dengan kategori dan kompetensi yang ditetapkan untuk membantu psikolog melakukan pemeriksaan psikologis.
(2) Laporan hasil pemeriksaan psikologis yang merupakan rangkuman dari semua proses asesmen, saran dan/atau rekomendasi hanya dapat dilakukan oleh kompetensinya, termasuk kesaksian forensik yang memadai mengenai karakteristik psikologis seseorang hanya setelah Psikolog yang bersangkutan melakukan pemeriksaan kepada individu untuk membuktikan dugaan diagnosis yang ditegakkan.
(3) Psikolog dalam membangun hubungan kerja wajib membuat kesepakatan dengan lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan dan penguasaan sarana instrumen/alat asesmen.
(4) Bila usaha asesmen yang dilakukan Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dinilai tidak bermanfaat Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tetap diminta mendokumentasikan usaha yang telah dilakukan tersebut.


Pasal 63
Penggunaan Asesmen Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan teknik asesmen psikologi, (wawancara atau observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen tes) dengan cara tepat mulai dari proses adaptasi, administrasi, penilaian atau skor, menginterpretasi untuk tujuan yang jelas baik dari
sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan, kategori dan kompetensi yang disyaratkan, penelitian, manfaat dan teknik penggunaan. Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan proses asesmen adalah:
(1) Konstruksi Tes: Validitas dan Reliabilitas
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan instrumen asesmen yang jelas validitas dan reliabilitasnya. Instrumen asesmen ditetapkan hanya dapat digunakan sesuai dengan populasi yang diujikan pada saat pengujian validitas dan reliabilitas.
b) Jika instrumen asesmen yang digunakan belum diuji validitas dan reliabilitasnya. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari instrumen tersebut serta interpretasinya.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam mengembangkan instrumen dan teknik asesmen harus menggunakan prosedur psikometri yang tepat, pengetahuan ilmiah terkini dan profesional untuk desain tes, standardisasi, validasi, penyimpangan dan penggunaan.


(2) Administrasi dan Kategori Tes Administrasi asesmen psikologi adalah pedoman prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam melakukan proses asesmen psikologi. Termasuk dalam proses asesmen psikologi adalah observasi, wawancara dan pelaksanaan psikodiagnostik.


(3) Kategori Alat Tes dalam Psikodiagnostik:
a) Kategori A: Tes yang tidak bersifat klinis dan tidak membutuhkan keahlian dalam melakukan administrasi dan interpretasi.
b) Kategori B: Tes yang tidak bersifat klinis tetapi membutuhkan pengetahuan dan keahlian dalam administrasi dan interpretasi.
c) Kategori C: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi tes dan prosedur tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan dan pendidikan psikologi seperti statistik, perbedaan individu dan bimbingan konseling.
d) kategori D: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi tes dan prosedur tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan dan pendidikan psikologi seperti statistik, perbedaan individu. Tes ini juga membutuhkan pemahaman tentang testing dan didukung dengan pendidikan psikologi standar psikolog dengan pengalaman satu tahun disupervisi oleh psikolog dalam menggunakan alat tersebut.

(4) Tes dan Hasil Tes yang Kadaluarsa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mendasarkan keputusan asesmen, intervensi atau saran dari data hasil tes yang sudah kadaluarsa untuk digunakan pada saat sekarang. Dalam kondisi relatif konstan hasil tes dapat berlakuuntuk 2 tahun, namun dalam kondisi atau keperluan khusus harus dilakukan pengetesan kembali.


(5) Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/ qualified Asesmen psikologi perlu dilakukan oleh pihakpihak yang memang berkualifikasi, perlu dihindari untuk menggunakan orang atau pekerja yang tidak memiliki kualifikasi memadai. Untuk mencegah asesmen psikologi oleh pihak yang tidak kompeten:
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menawarkan bantuan jasa asesmen psikologi kepada professional lain termasuk Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut harus secara akurat mendeskripsikan tujuan, validitas, reliabilitas, norma termasuk juga prosedur penggunaan dan kualifikasi khusus yang mungkin diperlukan untuk menggunakan instrumen tersebut.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menggunakan bantuan jasa asesmen psikologi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain untuk memperlancar pekerjaannya ikut bertanggung jawab terhadap penggunaan instrumen asesmen secara tepat termasuk dalam hal ini penerapan, skoring dan penterjemahan instrumen tersebut.


Pasal 64
Informed Consent dalam Asesmen Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik lain sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika
a) pelaksanaan asesmen diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum
b) adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal: seleksi, ujian;
c) pelaksanaan asesmen digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu yang menjalani pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan atau perkara.


Pasal 65
Interpretasi Hasil Asesmen Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin kesemua ini dapat
mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi keputusan.


Pasal 66
Penyampaian Data dan Hasil Asesmen
(1) Data asesmen Psikologi adalah data alat/ instrument psikologi yang berupa data kasar, respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis. Data asesmen ini menjadi kewenangan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada sesama profesi untuk kepentingan melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan individu yang menjalani pemeriksaan psikologi.
(2) Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses pelaksanaan asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog yang melakukan pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada pengguna layanan. Hasil ini juga dapat disampaikan kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak lain sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum.
(3) Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan tikan adalah kemampuan bahasa dan istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa.


Pasal 67
Menjaga Alat, Data dan Hasil Asesmen
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan instrumen/alat tes psikologi, data asesmen psikologi dan hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku, aturan hukum dan kewajiban yang telah tertuang dalam kode etik ini.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan data hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku yang telah tertuang dalam kode etik ini.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mempunyai hak kepemilikan sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku serta bertanggungjawab terhadap alat asesmen psikologi yang ada di instansi/ organisasi tempat dia bekerja.


BAB XII
INTERVENSI

Pasal 68
Dasar Intervensi
Intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok orang atau masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha preventif maupun kuratif
(1) Intervensi dalam bidang psikologi dapat berbentuk intervensi individual, intervensi kelompok, intervensi komunitas, intervensi organisasi maupun sistem.
(2) Metode yang digunakan dalam intervensi dapat berbentuk psikoedukasi, konseling dan terapi.
(3) Psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan/atau keterampilan sebagai usaha pencegahan dari munculnya dan/atau meluasnya gangguan psikologis di suatu kelompok, komunitas atau masyarakat serta kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama keluarga) tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi.
(4) Psikoedukasi dapat berbentuk (a) pelatihan dan (b) tanpa pelatihan.
(5) Konseling Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mengatasi masalah baik sosial personal, pendidikan atau pekerjaan yang berfokus pada pengembangan potensi positif yang dimiliki klien. Istilah untuk subyek yang mendapatkan layanan Konseling Psikologi adalah klien.
(6) Terapi Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari gangguan psikologis atau masalah kepribadian dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori yang relevan dengan ilmu psikoterapi. Istilah untuk subyek yang mendapatkan layanan terapi Psikologi adalah klien.



BAB XIII
PSIKOEDUKASI

Pasal 69
Batasan Umum
Psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk
a. meningkatkan pemahaman dan atau keterampilan sebagai usaha pencegahan dari munculnya dan atau meluasnya gangguan psikologis di suatu kelompok, komunitas atau masyarakat.
b. meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama keluarga) tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi. Psikoedukasi dapat berbentuk (a) pelatihan dan (b) tanpa pelatihan (non training).


Pasal 70
Pelatihan dan Tanpa Pelatihan
(1) Pelatihan:
Pelatihan telah diuraikan secara rinci pada Buku Kode Etik ini bab VIII tentang Pendidikan dan Pelatihan
(2) Tanpa Pelatihan dapat dilakukan secara:
a. Langsung dalam bentuk ceramah dan pemberian penjelasan secara lisan.
b. Tidak langsung dalam bentuk penyebarluasan leaflet, pamflet, iklan layanan masyarakat ataupun bentuk-bentuk lain yang memberikan edukasi tentang suatu isue dan/atau masalah yang sedang berkembang di masyarakat.
c. Psikoedukasi Tanpa pelatihan dapat dilakukan oleh psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang memahami metode psikoedukasi maupun masalah yang ada dalam suatu komunitas dan/atau masyarakat.
d. Tahapan Psikoedukasi tanpa pelatihan yang harus dilakukan meliputi asesmen, perancangan program, implementasi program, monitoring dan evaluasi program
e. Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam melakukan psikoedukasi non training harus sesuai kaidah-kaidah ilmiah serta bukti empiris yang ada dan berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan.
f. Intervensi Psikoedukasi non training dihentikan jika berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan telah terjadi perubahan positif ke arah kesejahteraan masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan.
g. Jika terjadi dampak negatif sebagai akibat dari perlakuan tersebut, pelaksana Psikoedukasi non training berkewajiban untuk mengembalikan ke keadaan semula.


BAB XIV
KONSELING PSIKOLOGI dan
TERAPI PSIKOLOGI

Pasal 71
Batasan Umum
(1) Konseling psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mengatasi masalah psikologis yang berfokus pada aktivitas preventif dan pengembangan potensi positif yang dimiliki dengan menggunakan prosedur berdasar teori yang relevan. Istilah untuk subyek yang menjalani layanan konseling psikologi adalah klien. Konseling psikologi dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah pendidikan, perkembangan manusia ataupun pekerjaan baik secara individual maupun kelompok. Orang yang menjalankan konseling psikologi disebut
konselor.
(2) Terapi psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari gangguan psikologis atau masalah kepribadian dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori yang relevan dengan ilmu psikoterapi. Istilah untuk subyek yang menjalani layanan terapi psikologi adalah klien. Terapi psikologi disebut Psikoterapi. Terapi psikologi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Orang yang menjalankan terapi psikologi disebut psikoterapis.



Pasal 72
Kualifikasi Konselor dan Psikoterapis
(1) Konselor/Psikoterapis adalah seseorang yang a. memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menjalankan konseling psikologi/terapi psikologi yang akan dilaksanakan secara mandiri dan/atau masih dalam supervisi untuk
melaksanakannya sesuai dengan kaidah pelaksanaan konseling psikologi/ psikoterapi tersebut.
b. mengutamakan dasar-dasar profesional.
c. memberikan layanan konseling atau terapi kepada semua pihak yang membutuhkan.
d. mampu bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat proses konseling atau terapi yang dilaksanakannya terhadap klien.
(2) Yang dimaksud dengan sikap profesional adalah
a. senantiasa mengandalkan pada pengetahuan yang bersifat ilmiah dan buktibukti empiris tentang keberhasilan suatu konseling atau terapi.
b. bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.
c. senantiasa mempertahankan dan meningkatkan derajat kompetensinya dalam menjalankan praktik Psikologi.



Pasal 73
Informed Consent dalam Konseling dan Terapi
(1) Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam proses konseling psikologi/psikoterapi sesuai dengan azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi dilaksanakan, konselor / psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed Consent) dari orang yang menjalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih dahulu.

(2) Isi dari Informed Consent dapat bervariasi tergantung pada jenis tindakan konseling psikologi atau terapi psikologi yang akan dilaksanakan, tetapi secara umum menunjukkan bahwa orang yang menjalani yang akan menandatangani Informed Consent tersebut memenuhi per-syaratan sebagai berikut:
a) Mempunyai kemampuan untuk menyatakan persetujuan.
b) Telah diberi informasi yang signifikan mengenai prosedur Konseling Psikologi/ Psikoterapi.
c) Persetujuan dinyatakan secara bebas dan tidak dipengaruhi dalam menyatakan persetujuannya.

(3) Informed Consent didokumentasikan sesuai prosedur yang tetap. Hal-hal yang perlu diinformasikan sebelum persetujuan konseling/terapi ditandatangani oleh orang yang akan menjalani Konseling Psikologi/Psikoterapi adalah sebagai berikut:
a. proses Konseling Psikologi/Psikoterapi,
b. tujuan yang akan dicapai,
c. biaya,
d. keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan,
e. batasan kerahasiaan,
f. memberi kesempatan pada orang yang akan menjalani Konseling/Terapi untuk mendiskusikannya sejak awal.

(4) Hal-hal yang berkaitan dengan sifat konseling psikologi/psikoterapi seperti kemungkinan adanya sifat tertentu yang dapat berkembang dari proses konseling atau terapi, risiko yang potensial muncul, psikoterapi lain sebagai alternatif dan kerelaan untuk berpartisipasi dalam proses konseling psikologi/psikoterapi.

(5) Jika Konselor/Terapis masih dalam pelatihan dan dibawah supervisi, hal ini perlu diberitahukan kepada orang yang akan menjalani konseling dan hal ini harus menjadi bagian dari prosedur  informed consent.


Pasal 74
Konseling Psikologi/Psikoterapi yang melibatkan Pasangan atau Keluarga Ketika psikolog memberikan jasa konseling psikologi/ psikoterapi pada beberapa orang yang memiliki hubungan keluarga atau pasangan (misal: suami istri, significant others, atau orangtua dan anak) maka perlu diperhatikan beberapa prinsip dan klarifikasi mengenai hal-hal sebagai berikut:

a) Siapa yang menjadi pengguna layanan psikologi tersebut, peran dan hubungan psikolog bagi masing-masing orang yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam proses terapi.
b) Kemungkinan penggunaan layanan dan informasi yang diperoleh dari masingmasing orang atau keluarga yang terlibat dalam proses terapi dengan memperhatikan azas kerahasiaan. (lihat Bab V buku kode etik ini tentang Kerahasiaan).
c) Jika secara jelas psikolog harus bertindak dalam peran yang bertentangan (misal sebagai terapis keluarga dan kemudian menjadi saksi untuk salah satu pihak dalam kasus perceraian), psikolog perlu mengambil langkah dalam menjelaskan atau memodifikasi, atau menarik diri dari peran-peran yang ada secara tepat. (lihat pasal 16 tentang Hubungan Majemuk dan pasal 60 tentang Peran Majemuk dalam Forensik buku Kode Etik ini).
Pasal 75
Konseling Kelompok dan
Terapi Kelompok
Ketika psikolog memberikan konseling psikologi/ psikoterapi pada beberapa orang dalam satu kelompok, psikolog harus mempertimbangkan kondisi klien dalam kaitannya dengan konseling/terapi kelompok yang akan dilaksanakan, menjelaskan peran dan tanggungjawab semua pihak serta batas kerahasiaannya.
Pasal 76
Pemberian Konseling Psikologi/ Psikoterapi bagi yang Menjalani Konseling Psikologi/Psikoterapi sebelumnya Psikolog saat memutuskan untuk menawarkan atau memberikan layanan kepada orang yang akan menjalani konseling psikologi/psikoterapi yang sudah pernah mendapatkan konseling psikologi/psikoterapi dari sejawat psikolog lain, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

a) Psikolog tersebut perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan keberpihakan kepada kesejahteraan orang yang menjalani proses konseling/psikoterapi serta menghindaripotensi konflik dengan psikolog yang sebelumnya telah memberikan layanan yang sama.
b) Psikolog perlu mendiskusikan isu perawatan atau konseling psikologi /psikoterapi dan kesejahteraan orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi dengan pihak lain yang mewakili orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi tersebut dalam rangka meminimalkan risiko kebingungan dan konflik.
c) Jika memungkinkan, psikolog mengkomunikasikan kepada psikolog pemberi layanan praktik sebelumnya kemudian melanjutkan secara hati-hati serta peka pada isu-isu terapeutik.
Pasal 77
Pemberian Konseling Psikologi/ Psikoterapi kepada Mereka yang Pernah Terlibat Keintiman/Keakraban Seksual
(1) Psikolog tidak terlibat keintiman/keakraban seksual dengan orang yang sedang menjalani pelayanan konseling psikologi/psikoterapi.
(2) Psikolog tidak terlibat dalam keintiman seksual dengan orang yang diketahui memiliki hubungan saudara, keluarga atau significant others dari orang yang akan diberi konseling psikologi/psikoterapi dan psikolog juga tidak diperkenankan mengakhiri konseling psikologi/psikoterapi untuk alasan agar dapat terlibat dalam keintiman/keakraban dengan keluarga dan/atau orang-orang signifikan lainnya.
(3) Psikolog tidak menerima dan/atau memberikan konseling psikologi/psikoterapi bagi orang yang pernah terlibat keintiman/keakraban seksual dengannya.
(4) Psikolog tidak terlibat keintiman/keakraban seksual dengan mantan orang yang pernah diberi konseling psikologi/psikoterapi. Setidaknya 2 (dua) tahun dari penghentian dan atau pengakhiran konseling psikologi/psikoterapi kecuali dalam situasi yang sangat tidak lazim. Ketidaklaziman tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sebagai hal yang tidak bersifat eksploitasi terhadap faktor-faktor yang relevan, termasuk hal-hal sebagai berikut:
• Sejumlah waktu telah berlalu sejak penghentian atau pengakhiran terapi.
• Sifat, jangka waktu dan intensitas terapi.
• Situasi kondisi penghentian atau pengakhiran.
• Riwayat pribadi orang yang menjalani terapi.
• Status mental klien pada saat ini.
• Kemungkinan yang lebih buruk pada klien.
• Adanya kecerobohan pernyataan atau tindakan psikolog selama berjalannya terapi yang mengundang kemungkinan terjadinya hubungan romantik atau seksual dengan orang yang sedang menjalani terapi.

Pasal 78
Penjelasan Singkat/Debriefing Setelah Konseling Psikologi/Psikoterapi
(1) Psikolog memberikan penjelasan singkat segera setelah selesai pemberian konseling/terapi, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat, agar klien memperoleh informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan konseling/terapi.
(2) Psikolog mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko atau bahaya jika dilakukan penundaan atau penahanan informasi tersebut.
(3) Debriefing dalam konseling psikologi/terapi dapat ditiadakan jika pada saat awal layanan telah dilakukan penjelasan tentang sifat dan kemungkinan hasil, sehingga Psikolog dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin dimiliki klien.
(4) Jika Psikolog menemukan bahwa prosedur konseling/terapi telah memberikan dampak negatif pada klien; Psikolog mengambil langkah tepat untuk meminimalkan dampaktersebut.
Pasal 79
Penghentian Sementara Konseling Psikologi/Psikoterapi
Psikolog saat menyepakati kontrak terapi dengan orang yang menjalani pemeriksaan psikologi sehingga terjadi hubungan profesional yang bersifat terapeutik, maka psikolog tersebut senantiasa berusaha menyiapkan langkah-langkah demi kesejahteraan orang yang menjalani terapi termasuk apabila terjadi hal-hal yang terpaksa mengakibatkan terjadinya penghentian terapi dan/atau pengalihan kepada sejawat psikolog lain sebagai rujukan. (lihat pasal 22 buku Kode Etik ini tentang Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi).
Pasal 80
Penghentian Konseling Psikologi/ Psikoterapi
(1) Psikolog wajib mengakhiri konseling psikologi/ psikoterapi ketika orang yang menjalani terapi sangat jelas sudah tidak membutuhkan lagi dan/atau tidak memperoleh keuntungan lagi dari terapi tersebut dan/atau bahkan akan dirugikan jika terapi tetap berlangsung.
(2) Psikolog dapat mengakhiri konseling psikologi/ psikoterapi jika mengancam dan/atau membahayakan bagi orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi dan/atau orang lain yang memiliki hubungan dengan orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi.
(3) Sebelum pengakhiran pemberian konseling psikologi/psikoterapi, Psikolog memberikan konseling pendahuluan dan/atau menyarankan pemberi layanan alternatif lainnya yang sesuai kebutuhan orang yang menjalani terapi, kecuali jika kondisi ini tidak memungkinkan.
PENUTUP
Kode Etik Psikologi Indonesia ini disusun secara terperinci sehingga sudah merupakan satu kesatuan untuk dijadikan Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Profesional bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Keberadaannya Kode etik Psikologi Indonesia sudah mulai dirintis sejak Kongres I Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia tahun 1979, dan dievaluasi nilai kegunaannya sesuai dengan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, melalui Kongres II, III, IV, V, VI, VII Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia dan Kongres VIII, IX, X dan XI Himpunan Psikologi Indonesia.



Referensi :

http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/04/23/kode-etik-psikologi-indonesia-terbaru-himpsi-2010-359055.html





Popular posts from this blog

Teknik Observasi

Psikodiagnostik dan Psikologi Diferensial

Interpretasi Tes Psikologis